SETTING DHCP DI LINUX U BUNTU 8.04

Agustus 24, 2009

Bismillah, Tidak dipungkiri bahwa memberikan IP secara statis sungguh merepotkan, apalagi banyak PC yang akan diset IPnya. Karena klo ada IP yg sama maka juga akan konflik. Memang ada PC yg harus diberi IP statis semacam PC server dan default gateway. Maka PC yg lain di jaringan cukup mendapatkan IP otomatic dari server IP yang bernama DHCP server. DHCP adalah Dynamic Host Configuration Protocol, Service yang akan memberikan IP secara otomatic kepada PC yg ada dijaringan. Jadi PC ini tidak boleh dimatikan. Klo mati maka PC lain akan kehilangan IP. Dalam konfigurasi di jaringan ini telah ada IP statis. Yang pertama IP : 192.168.0.1, IP ini dipakai oleh gateway saya dengan sistem operasi windows dan Intenet conection sharing diaktifkan, sedang PC saya ini yg menjalankan DHCP server menggunakan IP statis : 192.168.0.233. Sistem operasi seperti disebut di atas, Ubuntu 8.04. Untuk membuat DHCP server, Install dulu paketnya. Di Ubuntu 8.04 nama paketnya adalah : dhcp3-server. Langsung buka synaptic paket manager dan search dengan keyword itu. pastikan repo internet telah aktif. Setelah terinstall masuk tahap kedua. Tahap kedua, check service dhcp apakah telah aktif. Ini untuk memastikan saja. Secara default langsung aktif tanpa perlu reboot. Buka : System> Administration > Service. Akan muncul jendela : service setting. Perhatikan di list nama : DHCP server (dhcp3-server) sudah diberi tanda centang. Sekali lagi ini cuma untuk memastikan saja. Update 24/03/09 Konfigurasi DHCP Server Contoh administrasi awal PC saya : – OS Ubuntu Server 8.04 – Berfungsi sebagai Router sekaligus DHCP Server (jd punya 2 NIC) – eth0, IP Luar/Red IP : 192.168.100.1 (ini IP dari ISP saya) – eth1, IP Dalam/Green IP : 192.168.0.1 (ini IP jaringan dalam) – eth1 IP : 192.168.0.1 Subnet mask : 255.255.255.0 1. Memilih NIC yg akan digunakan untuk output DHCP server. Kalau hanya menggunakan 1 NIC maka tidak perlu diset. Dalam kasus ini PC router saya menggunakan 2 NIC. secara default DHCP menggunakan NIC eth0. Nah, karena eth0 saya gunakan utk IP luar maka saya pindahkan service DHCP ke eth1. Caranya : – buka terminal lalu edit file /etc/default/dhcp3-server – $ sudo nano /etc/default/dhcp3-server nah ini isi file tersebut : # Defaults for dhcp initscript # sourced by /etc/init.d/dhcp # installed at /etc/default/dhcp3-server by the maintainer scripts # # This is a POSIX shell fragment # # On what interfaces should the DHCP server (dhcpd) serve DHCP requests? # Separate multiple interfaces with spaces, e.g. “eth0 eth1″. INTERFACES=” ” – Pada baris paling bawah diedit hingga tertulis seperti ini : INTERFACES=”eth1″ – Trus simpan perubahan file ini dengan menekan control x, lalu tekan y dan enter. 2. Konfigurasi/ administrasi DHCP Server. – Buka terminal lalu edit file dhcpd.conf. Ketik : $ sudo nano /etc/dhcp3/dhcpd.conf nah file ini banyak isinya. Kita hapus saja lalu isikan script berikut ini : # Sample /etc/dhcp3/dhcpd.conf # (add your comments here) # Jangan lupa tanda semicolon alias titik koma pada akhir pernyataan # Ini untuk menentukan expirednya sebuah IP dlm satuan detik default-lease-time 600; max-lease-time 7200; option subnet-mask 255.255.255.0; option broadcast-address 192.168.0.255; # Ini IP dalam PC saya yg berfungsi sebagai router option routers 192.168.0.1; # Ini IP DNS anda option domain-name-servers 192.168.0.1; # Nama domain anda option domain-name “trh.com”; # Ini rentang IP yang akan dibagikan oleh DHCP server subnet 192.168.0.0 netmask 255.255.255.0 { # Rentang pertama IP no 10 sampai 100 range 192.168.0.10 192.168.0.100; # Rentang kedua IP no 150 sampai 200 range 192.168.0.150 192.168.0.200; } # Selesai 3. Restart kartu jaringan anda, ketik : $ sudo /etc/init.d/networking restart 4. Restart DHCP3 Server anda, ketik : $ sudo /etc/init.d/dhcp3-server restart update 03/04/2009 Memberikan IP statis lewat DHCP server ke NIC tertentu 1. Dari PC router, masuk mode terminal lalu ketik, aspan@ubuntu:/etc/dhcp3$ arp Maka akan muncul seperti ini : Address HWtype HWaddress Flags Mask Iface 192.168.0.13 ether 00:1A:92:22:2F:37 C eth1 192.168.0.19 (incomplete) eth1 192.168.0.233 ether 00:19:21:D6:D1:32 C eth1 192.168.100.65 ether 00:E0:4D:49:82:96 C eth0 192.168.0.3 ether 00:1A:92:22:56:59 C eth1 Perintah arp untuk mengetahui mac address masing2 NIC. 2. Edit file dhcpd.conf, ketik : $sudo nano /etc/dhcp3/dhcpd.conf password : tambahkan baris berikut ini : #IP statis #1 komputer SDM host sdm { hardware ethernet 00:1A:92:22:56:59; fixed-address 192.168.0.3; } simpan perubahan dengan menekan ^x lalu pilih Y dan enter. Catatan : jangan lupa tanda kurung kurawal dan semicolon. Trus, statement fixed-address menggunakan tanda penghubung. 3. Restart dhcp server anda, ketik : $ sudo /etc/init.d/dhcp3-server restart Update hari ini selesai. Nah selesai, tinggal set PC client untuk mendapatkan dinamic IP via DHCP. Selamat mencoba dan salam linux by: aspansyahbudin


Warga Resah, Pemasangan Pipa Dihentikan

Agustus 20, 2009

MAHARDIKA SURYA ABRIANTO/RM

MENGGANGGU: Pemasangan pipa PDAM di Jalan Aji Gunung diprotes warga setempat.

SAMPANG-Aktivitas penggalian dan pemasangan pipa PDAM yang dilakukan buruh proyek selama empat hari di Jalan Aji Gunung RT I, II, dan IV akhirnya dihentikan. Itu karena warga setempat resah dan mengaku terganggu.

Berdasarkan pantauan koran ini, penggalian dan penanaman pipa sempat dihentikan warga Aji Gunung sekitar 90 menit. Sebab, mereka merasa tergangggu karena jalan yang biasa dilewati digali dan ditanami pipa. Apalagi, pekerjaan itu tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada warga.

Ketua RT II  RW IV Abd. Muis membenarkan kejadian tersebut. Menurut dia, warga sekitar memang resah dan merasa terganggu. “Sebab, penggalian dan penanaman pipa dilakukan secara tiba-tiba dan tanpa sosialisasi terlebih dahulu,” ujarnya.

Keresahan masyarakat dipicu rasa kecewa. Sebab, lahan yang ada di sekitarnya hanya dijadikan batu loncatan, bukan untuk kepentingan warga Aji Gunung. “Warga menghentikan kegiatan penggalian karena tidak pernah diberitahu ada proyek,” tegasnya.

Diungkapkan, semula warga berencana minta pertanggungjawaban rekanan pelaksana proyek. “Tapi alhamdulillah, sekarang warga Aji Gunung tidak resah lagi. Sebab, pihak PDAM sudah mendatangi dan memberitahu izin proyek yang digarap,” terangnya.

Dirut PDAM Trunojoyo Sampang Robert Balbut yang dikonfirmasi koran ini mengatakan, pihaknya sudah melakukan sosilisasi dan mendapatkan izin untuk proyek pemasangan tersebut. “Jadi, sekarang sudah tidak ada masalah,” katanya.

Dijelaskan, perizinan sudah ada sesuai surat Nomor: 690.106/434.209/2009 perihal Pemasangan Pipa di Tanah Jalan Milik Pemkab Sampang yang ditandatangani oleh dinas  PU Cipta Karya dan tata ruang, dinas PU Bina Marga, KP3M, dan PDAM.

Ditanya soal apa ada SPK-nya, Robert mengaku sudah dilayangkan kepada bupati. “Kami hanya membantu masalah perizinan, sosialisasi, dan pembebasan tanah. Untuk dana, yang tahu persis pusat. Tapi, jumlahnya diperkirakan sekitar Rp 650 juta selain pipa,” ungkapnya.

Dikatakan, pemasangan pipa sepanjang 3 kilometer. Rekanan yang menggarap proyek ini adalah CV Sinta Surabaya. “Tapi yang bekerja adalah anak buahnya, salah seorang rekanan Sampang, yakni Syarif,” ujarnya.

(Rabu, 12 Agustus 2009 13:53:43) RADAR


Pesangon Anggota DPRD Sumenep 1999-2004 Senilai Rp 1,9 M Masih Ngendon

Agustus 20, 2009

FERI FERDIANSYAH/RM

GEDUNG RAKYAT: Gedung DPRD Sumenep di Jalan Trunojoyo. Anggota DPRD 1999-2004 diduga banyak belum mengembalikan uang pesangon.

Rata-Rata Kembalikan Rp 5 Juta, Hanya Ketua yang Lunas

Masih ingat dengan wajah-wajah anggota DPRD Sumenep periode 1999-2004? Meski mereka sudah dinyatakan purna tugas sejak Agustus 2004 lalu, namun hingga kini ada persoalan yang belum tuntas. Yakni, terkait pengembalian dana tunjangan purna tugas atau bisa disebut pesangon. Bagaimana perkembangannya?

FERY FERDIANSYAH, Sumenep

UNTUK diketahui, semua anggota DPRD periode 1999-2004 dipastikan menerima dana pesangon dari APBD. Besaran dananya sekitar Rp 49 juta per kepala. Sehingga, total anggaran yang harus dikeluarkan dari APBD mencapai Rp 2,2 miliar.

Pemberian dana pesangon untuk DPRD memang sempat menjadi kontroversi. Sebab, di Sumenep terdapat hal yang khusus. Dimana, secara kebetulan, pemberian dana tersebut telah diatur dengan payung hukum, yakni peraturan daerah (perda).

Sedangkan di beberapa daerah, dana pesangon tidak diatur. Sehingga, pemberian dana pesangon telah berujung ke meja hijau. Tak sedikit diantara mantan anggota dewan yang telah dibui terkait hal tersebut. Di Madura, DPRD Sampang periode 1999-2004 juga tersandung masalah ini. Kasusnya sedang ditangani kejari setempat.

Kasubag Hukum DPRD Sumenep Sukaryo saat dikonfirmasi soal dana pesangon anggota DPRD periode 1999-2004 mengatakan, pencairan dana tersebut memiliki landasan hukum berupa perda. Namun, lanjut Sukaryo,  belakangan BPK (Badan Pengawas Keuangan) memberi surat edaran kepada seluruh daerah untuk mengembalikan dana tersebut.

Sesuai dengan edaran BPK, dana pesangon itu harus ditarik kembali dan dimasukkan pada kas daerah. Namun, sifatnya edaran. Sedangkan perda mengacu kepada peraturan pemerintah. “Terkait masalah ini, pihak kami sedang meminta pendapat hukum dari Mahkamah Agung,” jelasnya.

Dengan belum jelasnya posisi dana pesangon, sejumlah anggota DPRD periode 1999-2004 terkesan mengambil sikap sendiri. Buktinya, berdasarkan data yang diterima koran ini, mereka bersikap ambigu.

Namun, mereka terkesan mengatur strategi. Buktinya, saat ini sebagian besar telah mengembalikan dana. Tapi, berdasarkan informasi yang diterima koran ini, besarannya hanya rata-rata Rp 5 juta. Padahal, seharusnya mereka mengembalikan Rp 49 juta.

Dari ke-45 anggota DPRD periode 1999-2004, hanya Ketua DPRD KH Abuya Busyro yang mengembalikan utuh. Praktis, dana yang terkumpul belum utuh Rp 2,2 miliar. Jika dihitung kasar, total dana yang belum dikembalikan mendekati Rp 1,9 miliar. Itu jika diasumsikan pengembalian rata-rata Rp 5 juta ditambah uang pengembalian utuh dari ketua DPRD.

Sukaryo yang dikonfirmasi terkait jumlah dana yang belum dikembalikan, mengaku tidak tahu menahu. Sebab, menurutnya, data keuangan ada pada bagian TU DPRD.

Sedangkan Kabag TU DPRD Sunarto tidak bisa memberikan data mengenai uang purna tugas tersebut. Dia mengatakan, hal itu merupakan wewenang Sekwan. Namun, dirinya mengakui jika uang purna tugas yang sudah dikembalikan hingga saat ini belum mencapai setengahnya.

“Dari semua dana yang ada, yang dikembalikan belum sampai 50 persen,” ungkapnya.

Saat koran ini mencoba menghubungi (plt) Sekwan Bambang Irianto, nomor GSM yang digunakan oleh Bambang tidak aktif. Akhirnya, koran ini menghubungi ke nomor CDMA miliknya (03171324xxx). Adapun kode daerah pada nomor tersebut menunjukkan wilayah Surabaya, yakni (031).

Maklum, yang bersangkutan sedang ada rapat di Surabaya. Pertama kali dihubungi, dirinya mengiyakan sebagai Bambang. Namun, setelah koran ini memperkenalkan diri dan menyampaikan maksudnya, dia mengatakan salah sambung.

“Oh.. maaf salah sambung. Ini dengan Carli. ucap lelaki yang berada di ujung telepon itu.

Untuk diketahui, menurut beberapa rekannya, kemarin Bambang memang sedang berada di Surabaya. Adapun nomor Bambang sendiri, diperoleh dari rekan satu kantornya.

Sementara itu, Ketua DPRD Sumenep KH Abuya Busyro Karim enggan berkomentar panjang. Ditemui di kediamannya, dia mengaku tidak bisa menyampaikan banyak hal. Alasannya, dia khawatir jika apa yang disampaikannya nanti dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertangung jawab.

“Saya tidak mau merusak suasana yang sedang kondusif. Sebab, saat ini masih suasana politis,” jawab Busyro

(Sabtu, 25 Juli 2009 14:49:18) RADAR


Bupati Kumpulkan Semua Kasek

Agustus 20, 2009

Tim Usut Dana PSB Mulai Bekerja

BANGKALAN-Janji Bupati Bangkalan mengusut penarikan uang partisipasi penerimaan siswa baru (PSB) bukan sekadar isapan jempol, hanya berselang dua hari, RKH Fuad Amin langsung mengumpulkan semua kepala sekolah se Kabupaten Bangkalan. Selain itu, tim khusus untuk mendata penarikan uang partisipasi juga mulai bekerja.

Berdasar informasi yang diperoleh koran ini, seluruh kepala SMP, SMA dan SMK se-Kabupaten Bangkalan dikumpulkan di Pendapa Agung, kemarin (24/7) pagi. Selain itu, ada beberapa perwakilan kepala SD negeri, serta semua kepala UPTD Disdik di 18 kecamatan se-Bangkalan. Mereka diundang langsung bupati untuk memberi laporan terkait adanya penarikan uang partisipasi PSB 2009.

Saat dikonfirmasi koran ini, Fuad Amin mengakui pihaknya sudah bertemu dengan semua pelaku pendidikan di Kabupaten Bangkalan. Namun dia memastikan bahwa rapat evaluasi yang digelar kemarin pagi tidak hanya membahas persoalan dugaan pungutan PSB.

“Semua kita bahas. Saya minta laporan langsung dari kepala sekolah tentang pelaksanaan UAN hingga PSB tahun ini,” ujar Bupati Fuad.

Diakui juga, bupati kini sudah mengantongi langsung informasi awal terkait adanya dana partisipasi PSB di Bangkalan. Informasi ini selanjutnya akan dijadikan bahan awal bagi tim khusus yang dibentuk Pemkab Bangkalan untuk mulai mencari data-data di lapangan terkait PSB 2009. “Timnya kan sudah kita bentuk. Mereka akan data kembali uang yang ditarik saat PSB. Ketuanya Pak Sutrisno, Asisten Administrasi Umum dan Keuangan,” imbuhnya.

Fuad berharap uang partisipasi yang berhasil didata oleh tim khusus tersebut bisa dimanfaatkan secara tepat. Selain membantu biaya perbaikan dan operasional pendidikan, juga diharapkan untuk beasiswa bagi siswa yang kurang mampu. “Jadi nantinya semacam distribusi silang. Orang tua yang mampu juga ikut membantu siswa kurang mampu,” akunya.

Mantan anggota DPR RI ini juga akan menjadikan persoalan pada PSB tahun ini sebagai pelajaran pada masa yang akan datang. Sehingga hal-hal yang menyimpang tidak akan terulang pada PSB tahun depan. Fuad juga mengaku siap menambah pagu atau unit ruang baru bila masih ditemukan banyak siswa yang tidak tertampung di sekolah.

“Untuk tingkat SMP, kita kan sudah buka tujuh sekolah baru. Sedangkan SMA, kita sudah buka SMA Unggulan. Kalau masih dirasa kurang, Pemkab Bangkalan siap bangun lagi. Pokoknya jangan sampai ada anak usia sekolah menganggur,” pungkasnya

(Sabtu, 25 Juli 2009 14:58:03) RADAR


Proklamator Kemerdekaan RI – Ir. Soekarno (1901-1970)

Agustus 20, 2009

SANG PUTRA FAJAR

“Aku adalah putra seorang ibu Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idaju, berasal dari kasta tinggi. Raja terakhir Singaraja adalah paman ibuku. Bapakku dari Jawa. Nama lengkapnya adalah Raden Sukemi Sosrodihardjo. Raden adalah gelar bangsawan yang berarti, Tuan. Bapak adalah keturunan Sultan Kediri…

Apakah itu kebetulan atau suatu pertanda bahwa aku dilahirkan dalam kelas yang memerintah, akan tetapi apa pun kelahiranku atau suratan takdir, pengabdian bagi kemerdekaan rakyatku bukan suatu keputusan tiba-tiba. Akulah ahli-warisnya.” Ir. Soekarno menuturkan kepada penulis otobiografinya, Cindy Adam.

Putra sang fajar yang lahir di Blitar, 6 Juni 1901 dari pasangan Raden Soekemi dan Ida Ayu Nyoman Rai, diberi nama kecil, Koesno. Ir. Soekarno, 44 tahun kemudian, menguak fajar kemerdekaan Indonesia setelah lebih dari tiga setengah abad ditindas oleh penjajah-penjajah asing.

Soekarno hidup jauh dari orang tuanya di Blitar sejak duduk di bangku sekolah rakyat, indekos di Surabaya sampai tamat HBS (Hoogere Burger School). Ia tinggal di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Jiwa nasionalismenya membara lantaran sering menguping diskusi-diskusi politik di rumah induk semangnya yang kemudian menjadi ayah mertuanya dengan menikahi Siti Oetari (1921).

Soekarno pindah ke Bandung, melanjutkan pendidikan tinggi di THS (Technische Hooge-School), Sekolah Teknik Tinggi yang kemudian hari menjadi ITB, meraih gelar insinyur, 25 Mei 1926. Semasa kuliah di Bandung, Soekarno, menemukan jodoh yang lain, menikah dengan Inggit Ganarsih (1923).

Soekarno muda, lebih akrab dipanggil Bung Karno mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia), 4 Juni 1927. Tujuannya, mendirikan negara Indonesia Merdeka. Akibatnya, Bung Karno ditangkap, diadili dan dijatuhi hukuman penjara oleh pemerintah Hindia Belanda. Ia dijeboloskan ke penjara Sukamiskin, Bandung, 29 Desember 1949.

Di dalam pidato pembelaannya yang berjudul, Indonesia Menggugat, Bung Karno berapi-api menelanjangi kebobrokan penjajah Belanda.

Bebas tahun 1931, Bung Karno kemudian memimpin Partindo. Tahun 1933, Belanda menangkapnya kembali, dibuang ke Ende, Flores. Dari Ende, dibuang ke Bengkulu selama empat tahun. Di sanalah ia menikahi Fatwamati (1943) yang memberinya lima orang anak; Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rahmawati, Sukmawati dan Guruh Soekarnoputri.

Soekarno adalah seorang cendekiawan yang meninggalkan ratusan karya tulis dan beberapa naskah drama yang mungkin hanya pernah dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan tulisannya sudah diterbitkan dengan judul Dibawah Bendera Revolusi, dua jilid. Dari buku setebal kira-kira 630 halaman tersebut, tulisan pertamanya (1926), berjudul, Nasionalisme, Islamisme, dan Marxism, bagian paling menarik untuk memahami gelora muda Bung Karno.

Tahun 1942, tentara pendudukan Belanda di Indonesia menyerah pada Jepang. Penindasan yang dilakukan tentara pendudukan selama tiga tahun jauh lebih kejam. Di balik itu, Jepang sendiri sudah mengimingi kemerdekaan bagi
Indonesia.Penyerahan diri Jepang setelah dua kota utamanya, Nagasaki dan Hiroshima, dibom atom oleh tentara Sekutu, tanggal 6 Agustus 1945, membuka cakrawala baru bagi para pejuang Indonesia. Mereka, tidak perlu menunggu, tetapi merebut kemerdekaan dari Jepang.

Setelah persiapan yang cukup panjang, dipimpin oleh Ir. Soekarno dan Drs Muhammad Hatta, mereka memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945, di Jalan Pegangsaan Timur No. 52 (sekarang Jln. Proklamasi), Jakarta.


Proklamator Kemerdekaan RI – Dr. Moch. Hatta (1902-1980) PDF

Agustus 20, 2009

BAPAK BANGSA SEJATI

Hatta lahir dari keluarga ulama Minangkabau, Sumatra Barat. Ia menempuh pendidikan dasar di Sekolah Melayu, Bukittinggi, dan kemudian pada tahun 1913-1916 melanjutkan studinya ke Europeesche Lagere School (ELS) di Padang. Saat usia 13 tahun, sebenarnya beliau telah lulus ujian masuk ke HBS (setingkat SMA) di Batavia (kini Jakarta), namun ibunya menginginkan Hatta agar tetap di Padang dahulu, mengingat usianya yang masih muda. Akhirnya Bung Hatta melanjutkan studi ke MULO di Padang, baru kemudian pada tahun 1919 beliau pergi ke Batavia untuk studi di HBS. Beliau menyelesaikan studinya dengan hasil sangat baik, dan pada tahun 1921, Bung Hatta pergi ke Rotterdam, Belanda untuk belajar ilmu perdagangan/bisnis di Nederland Handelshogeschool (bahasa inggris: Rotterdam School of Commerce, kini menjadi Erasmus Universiteit). Di Belanda, ia kemudian tinggal selama 11 tahun.

Saat masih di sekolah menengah di Padang, Bung Hatta telah aktif di organisasi, antara lain sebagai bendahara pada organisasi Jong Sumatranen Bond cabang Padang.

Pada tangal 27 November 1956, Bung Hatta memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum dari Universitas Gadjah Mada di Yoyakarta. Pidato pengukuhannya berjudul “Lampau dan Datang”.

Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karir sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond Cabang Padang. Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis.

Pada usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas berangkat ke Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Di Batavia, ia juga aktif di Jong Sumatranen Bond Pusat, juga sebagai Bendahara.

Hatta mulai menetap di Belanda semenjak September 1921. Ia segera bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah tersedia iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai eksterniran akibat kritik mereka lewat tulisan di koran De Expres.

Perjuangan
Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karir sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB) Cabang Padang. Di kota ini Hatta mulai menimbun pengetahuan perihal perkembangan masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca berbagai koran, bukan saja koran terbitan Padang tetapi juga Batavia. Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran Tjokroaminoto dalam surat kabar Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam Neratja.

Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. “Aku kagum melihat cara Abdul Moeis berpidato, aku asyik mendengarkan suaranya yang merdu setengah parau, terpesona oleh ayun katanya. Sampai saat itu aku belum pernah mendengarkan pidato yang begitu hebat menarik perhatian dan membakar semangat,” aku Hatta dalam Memoir-nya. Itulah Abdul Moeis: pengarang roman Salah Asuhan; aktivis partai Sarekat Islam; anggota Volksraad; dan pegiat dalam majalah Hindia Sarekat, koran Kaoem Moeda, Neratja, Hindia Baroe, serta Utusan Melayu dan Peroebahan.

Pada usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas ia bertolak ke Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Di sini, Hatta mulai aktif menulis. Karangannya dimuat dalam majalah Jong Sumatera, “Namaku Hindania!” begitulah judulnya. Berkisah perihal janda cantik dan kaya yang terbujuk kawin lagi. Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan, datanglah musafir dari Barat bernama Wolandia, yang kemudian meminangnya. “Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga lebih mencintai hartaku daripada diriku dan menyia-nyiakan anak-anakku,” rutuk Hatta lewat Hindania.

Pemuda Hatta makin tajam pemikirannya karena diasah dengan beragam bacaan, pengalaman sebagai Bendahara JSB Pusat, perbincangan dengan tokoh-tokoh pergerakan asal Minangkabau yang mukim di Batavia, serta diskusi dengan temannya sesama anggota JSB: Bahder Djohan. Saban Sabtu, ia dan Bahder Djohan punya kebiasaan keliling kota. Selama berkeliling kota, mereka bertukar pikiran tentang berbagai hal mengenai tanah air. Pokok soal yang kerap pula mereka perbincangkan ialah perihal memajukan bahasa Melayu. Untuk itu, menurut Bahder Djohan perlu diadakan suatu majalah. Majalah dalam rencana Bahder Djohan itupun sudah ia beri nama Malaya. Antara mereka berdua sempat ada pembagian pekerjaan. Bahder Djohan akan mengutamakan perhatiannya pada persiapan redaksi majalah, sedangkan Hatta pada soal organisasi dan pembiayaan penerbitan. Namun, “Karena berbagai hal cita-cita kami itu tak dapat diteruskan,” kenang Hatta lagi dalam Memoir-nya.

Selama menjabat Bendahara JSB Pusat, Hatta menjalin kerjasama dengan percetakan surat kabar Neratja. Hubungan itu terus berlanjut meski Hatta berada di Rotterdam, ia dipercaya sebagai koresponden. Suatu ketika pada medio tahun 1922, terjadi peristiwa yang mengemparkan Eropa, Turki yang dipandang sebagai kerajaan yang sedang runtuh (the sick man of Europe) memukul mundur tentara Yunani yang dijagokan oleh Inggris. Rentetan peristiwa itu Hatta pantau lalu ia tulis menjadi serial tulisan untuk Neratja di Batavia. Serial tulisan Hatta itu menyedot perhatian khalayak pembaca, bahkan banyak surat kabar di tanah air yang mengutip tulisan-tulisan Hatta.

Hatta mulai menetap di Belanda semenjak September 1921. Ia segera bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah tersedia iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai eksterniran akibat kritik mereka lewat tulisan di koran De Expres. Kondisi itu tercipta, tak lepas karena Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) menginisiasi penerbitan majalah Hindia Poetra oleh Indische Vereeniging mulai 1916. Hindia Poetra bersemboyan “Ma’moerlah Tanah Hindia! Kekallah Anak-Rakjatnya!” berisi informasi bagi para pelajar asal tanah air perihal kondisi di Nusantara, tak ketinggalan pula tersisip kritik terhadap sikap kolonial Belanda.

Di Indische Vereeniging, pergerakan putra Minangkabau ini tak lagi tersekat oleh ikatan kedaerahan. Sebab Indische Vereeniging berisi aktivis dari beragam latar belakang asal daerah. Lagipula, nama Indische –meski masih bermasalah– sudah mencerminkan kesatuan wilayah, yakni gugusan kepulauan di Nusantara yang secara politis diikat oleh sistem kolonialisme belanda. Dari sanalah mereka semua berasal.

Hatta mengawali karir pergerakannya di Indische Vereeniging pada 1922, lagi-lagi, sebagai Bendahara. Penunjukkan itu berlangsung pada 19 Februari 1922, ketika terjadi pergantian pengurus Indische Vereeniging. Ketua lama dr. Soetomo diganti oleh Hermen Kartawisastra. Momentum suksesi kala itu punya arti penting bagi mereka di masa mendatang, sebab ketika itulah mereka memutuskan untuk mengganti nama Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging dan kelanjutannya mengganti nama Nederland Indie menjadi Indonesia. Sebuah pilihan nama bangsa yang sarat bermuatan politik. Dalam forum itu pula, salah seorang anggota Indonesische Vereeniging mengatakan bahwa dari sekarang kita mulai membangun Indonesia dan meniadakan Hindia atau Nederland Indie.

Pada tahun 1927, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda, dan di sinilah ia bersahabat dengan nasionalis India, Jawaharlal Nehru. Aktivitasnya dalam organisasi ini menyebabkan Hatta ditangkap pemerintah Belanda. Hatta akhirnya dibebaskan, setelah melakukan pidato pembelaannya yang terkenal: Indonesia Free.

Pada tahun 1932 Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan organisasi Club Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan meningkatkan kesadaran politik rakyat Indonesia melalui proses pelatihan-pelatihan. Belanda kembali menangkap Hatta, bersama Soetan Sjahrir, ketua Club Pendidikan Nasional Indonesia pada bulan Februari 1934. Hatta diasingkan ke Digul dan kemudian ke Banda selama 6 tahun.

Pada tahun 1945, Hatta secara aklamasi diangkat sebagai wakil presiden pertama RI, bersama Bung Karno yang menjadi presiden RI.


Jend. Anumerta Achmad Yani (1922-1965) PDF

Agustus 20, 2009

JENDERAL ANTI KOMUNIS

Jenderal Achmad Yani terkenal sebagai seorang tentara yang selalu berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) atau yang sekarang menjadi Kepala Staf Angkatan Darat sejak tahun 1962, ia menolak keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani.

Karenanya, dengan fitnah bahwa sejumlah TNI AD telah bekerja sama dengan sebuah negara asing untuk menjatuhkan Presiden Soekarno, PKI lewat Gerakan Tiga Puluh September (G 30/S) menjadikan dirinya salah satu target yang akan diculik dan dibunuh di antara tujuh petinggi TNI AD lainnya.

Peristiwa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari itu akhirnya menewaskan enam dari tujuh Perwira Tinggi Angkatan Darat yang sebelumnya direncanakan PKI. Lubang Buaya, lokasi dimana sumur tempat menyembunyikan jenazah para Pahlwawan Revolusi itu berada menjadi saksi bisu atas kekejaman komunis tersebut.

Jenderal yang sangat dekat dengan Presiden Soekarno, ini merupakan salah satu tangan kanan dan kepercayaan Sang Proklamator. Ia sangat cinta dan setia terhadap Bung Karno. Karena kecintaan dan kesetiaannya, ia bahkan pernah mengatakan, “Siapa yang berani menginjak bayang-bayang Bung Karno, harus terlebih dahulu melangkahi mayat saya.” Bahkan ada isu terdengar, bahwa Achmad Yani telah dipersiapkan oleh Bung Karno sebagai calon penggantinya sebagai presiden. Namun dirinya begitu dekat dengan Presiden Pertama RI itu, Achmad Yani tidak setuju dengan konsep Nasakom dari Soekarno. Isu dan prinsipnya itu akhirnya membuat PKI semakin benci terhadap dirinya.

Achmad Yani yang lahir di Jenar, Purworejo pada tanggal 19 Juni 1922, ini adalah putra dari Sarjo bin Suharyo (ayah) dan Murtini (ibu). Pendidikan formal diawalinya di HIS (setingkat Sekolah Dasar) Bogor, yang diselesaikannya pada tahun 1935. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya ke MULO (setingkat Sekolah Menegah Pertama) kelas B Afd. Bogor. Dari sana ia tamat pada tahun 1938, selanjutnya ia masuk ke AMS (setingkat Sekolah Menengah Umum) bagian B Afd. Jakarta. Sekolah ini dijalaninya hanya sampai kelas dua, sehubungan dengan adanya milisi yang diumumkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Ia kemudian mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang dan secara lebih intensif lagi di Bogor. Dari sana ia mengawali karier militernya dengan pangkat Sersan. Kemudian setelah tahun 1942 yakni setelah pendudukan Jepang di Indonesia, ia juga mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan selanjutnya masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor.

Berbagai prestasi pernah diraihnya pada masa perang kemerdekaan, antara lain berhasil melucuti senjata Jepang di Magelang. Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, dirinya diangkat menjadi Komandan TKR Purwokerto. Selanjutnya karier militernya pun semakin cepat menanjak.

Prestasi lain diraihnya ketika Agresi Militer Pertama Belanda terjadi. Pasukannya yang beroperasi di daerah Pingit berhasil menahan serangan Belanda di daerah tersebut. Maka saat Agresi Militer Kedua Belanda terjadi, ia dipercayakan memegang jabatan sebagai Komandan Wehrkreise II yang meliputi daerah pertahanan Kedu.

Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia diserahi tugas untuk menghancurkan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang mengacau di daerah Jawa Tengah. Ketika itu dibentuklah pasukan Banteng Raiders yang diberi latihan khusus. Alhasil, pasukan DI/TII pun berhasil ditumpasnya.

Seusai penumpasan DI/TII tersebut, ia ditarik ke Staf Angkatan Darat. Pada tahun 1955, ia disekolahkan pada Command and General Staff College di Fort Leaven Worth, Kansas, USA selama sembilan bulan. Dan pada tahun 1956, ia juga mengikuti pendidikan selama dua bulan pada Spesial Warfare Course di Inggris.

Pada tahun 1958 saat pemberontakan PRRI terjadi di Sumatera Barat, Achmad Yani yang masih berpangkat Kolonel diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus, untuk memimpin penumpasan pemberontakan PRRI tersebut. Ia juga berhasil menumpas pemberontakan tersebut. Sejak itu namanya pun semakin cemerlang. Hingga pada tahun 1962, ia yang waktu itu berpangkat Letnan Jenderal diangkat menjadi Men/Pangad menggantikan Jenderal A.H. Nasution yang naik jabatan menjadi Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankam/Kasab).

Saat menjabat Men/Pangad itulah kejadian naas terjadi. Jenderal yang terkenal sangat anti pada ajaran komunis itu pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 4:35 WIB, di kala subuh, diculik dan ditembak oleh PKI di depan kamar tidurnya hingga gugur. Dalam pencarian yang dipimpin oleh Soeharto (mantan Presiden RI) yang ketika itu masih menjabat sebagai Pangkostrad, jenazahnya ditemukan di Lubang Buaya terkubur di salah satu sumur tua bersama enam jenazah lainnya. Jenazah Achmad Yani dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, ia gugur sebagai Pahlawan Revolusi. Pangkatnya yang sebelumnya Letnan Jenderal dinaikkan satu tingkat sebagai penghargaan menjadi Jenderal.

Dia gugur karena mempertahankan kesucian Dasar dan Falsafah Negara, Pancasila, yang coba hendak diselewengkan komunis. Untuk menghormati jasa para pahlawan tersebut, maka di Lubang Buaya, dekat sumur tua tempat jenazah ditemukan, dibangun tugu dengan latar belakang patung ketujuh pahlawan Revolusi yakni enam Perwira Tinggi: Jend. TNI Anumerta Achmad Yani, Letjen. TNI Anumerta Suprapto, Letjen. TNI Anumerta S.Parman, Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono, Mayjen. TNI Anumerta D.I. Panjaitan, Mayjen. TNI Anumerta Sutoyo S, dan ditambah satu Perwira Pertama Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean. Tugu tersebut dinamai Tugu Kesaktian Pancasila.

Peristiwa 1 Oktober 1965 tersebut kemudian telah melahirkan suatu orde dalam sejarah pasca kemerdekaan republik ini. Orde yang kemudian lebih dikenal dengan Orde Baru itu menetapkan tanggal 1 Oktober setiap tahunnya sebagai hari Kesaktian Pancasila sekaligus sebagai hari libur nasional. Penetapan itu didasari oleh peristiwa yang terjadi pada hari dan bulan itu, dimana telah terjadi suatu usaha perongrongan Pancasila, namun berhasil digagalkan.

Belakangan setelah orde baru jatuh dan digantikan oleh orde yang disebut Orde Reformasi, peringatan hari Kesaktian Pancasila ini sepertinya mulai dilupakan. Terbukti tanggal 1 Oktober tersebut tidak lagi ditetapkan sebagai hari libur nasional sebagaimana sebelumnya.

Dalam pidato Bung Karno yang dikenal dengan “Jasmerah”, Bapak Bangsa itu menyebut agar jangan sekali-kali melupakan sejarah. Lebih tegas disebutkan, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mengingat dan menghargai sejarahnya. Hendaknya begitulah yang terdapat pada bangsa ini, khususnya pada para pemimpinnya.


Ki Hajar Dewantara (1889-1959)

Agustus 20, 2009

BAPAK PENDIDIKAN NASIONAL

Pendiri Taman Siswa ini adalah Bapak Pendidikan Nasional. Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 28 April 1959 dan dimakamkan di sana.

Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.

Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.

Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.

Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.

Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.

Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:

“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.

Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun”.

Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.

Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.

Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.

Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.

Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.

Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.

Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.

Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.

Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.

Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.

Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.


Jenderal Sudirman (1916-1950)

Agustus 20, 2009

PANGLIMA & JENDERAL PERTAMA RI

Jenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh besar di antara sedikit orang lainnya yang pernah dilahirkan oleh suatu revolusi. Saat usianya masih 31 tahun ia sudah menjadi seorang jenderal. Meski menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda. Ia berlatarbelakang seorang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan giat di kepanduan Hizbul Wathan.

Ketika pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yang begitu tamat pendidikan, langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI). Ia merupakan Pahlawan Pembela Kemerdekaan yang tidak perduli pada keadaan dirinya sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Ia tercatat sebagai Panglima sekaligus Jenderal pertama dan termuda Republik ini.

Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh pada prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika Agresi Militer II Belanda. Ia yang dalam keadaan lemah karena sakit tetap bertekad ikut terjun bergerilya walaupun harus ditandu. Dalam keadaan sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebutkan merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini.

Sudirman yang dilahirkan di Bodas Karangjati, Purbalingga, 24 Januari 1916, ini memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah yang terkenal berjiwa nasional yang tinggi. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tapi tidak sampai tamat. Sudirman muda yang terkenal disiplin dan giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan ini kemudian menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Kedisiplinan, jiwa pendidik dan kepanduan itulah kemudian bekal pribadinya hingga bisa menjadi pemimpin tertinggi Angkatan Perang.

Sementara pendidikan militer diawalinya dengan mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Setelah selesai pendidikan, ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Ketika itu, pria yang memiliki sikap tegas ini sering memprotes tindakan tentara Jepang yang berbuat sewenang-wenang dan bertindak kasar terhadap anak buahnya. Karena sikap tegasnya itu, suatu kali dirinya hampir saja dibunuh oleh tentara Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu pertempuran dengan pasukan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Itulah jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan Indonesia. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 2 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh pangkat Jenderal tidak melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana lazimnya, tapi karena prestasinya.

Ketika pasukan sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang, ternyata tentara Belanda ikut dibonceng. Karenanya, TKR akhirnya terlibat pertempuran dengan tentara sekutu. Demikianlah pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Sudirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember tahun yang sama, dilancarkanlah serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Pertempuran yang berkobar selama lima hari itu akhirnya memaksa pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.

Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta sebelumnya sudah dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu yang berfungsi.

Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat keadaan itu, walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan. Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara.

Maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali sementara obat juga hampir-hampir tidak ada. Tapi kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan dia sendiri tidak merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya, ia tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu dibutuhkan.

Sudirman yang pada masa pendudukan Jepang menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas, ini pernah mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Jenderal yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi, ini akhirnya harus meninggal pada usia yang masih relatif muda, 34 tahun.

Pada tanggal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan


Wage Rudolf Supratman (1903–1938)

Agustus 20, 2009

PENGGUBAH LAGU INDONESIA

Tingginya jiwa kebangsaan dari Wage Rudolf Supratman menuntun dirinya membuahkan karya bernilai tinggi yang di kemudian hari telah menjadi pembangkit semangat perjuangan pergerakan nasional. Semangat kebangsaan, rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka dalam jiwanya dituangkan dalam lagu gubahannya Indonesia Raya. Lagu yang kemudian menjadi lagu kebangsaan negeri ini.

Penolakan jiwanya terhadap penjajahan, pernah juga dituliskannya dalam bukunya yang berjudul Perawan Desa. Namun sayang, Pahlawan nasional yang lahir 9 Maret 1903 ini sudah meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938, sebelum mendengar lagu gubahannya dikumandangkan pada hari kemerdekaan negeri yang dicintainya.

Supratman tepatnya lahir di Jatinegara, Jakarta, tanggal 9 Maret 1903. Menamatkan sekolah dasarnya di Jakarta, kemudian melanjutkan ke Normaal School Ujungpandang. Setelah menyelesaikan pendidikan, ia masih tetap tinggal di Ujungpandang dan sempat bekerja sebagai guru Sekolah Dasar kemudian ke sebuah perusahaan dagang. Kebolehannya bermain musik biola serta menggubah lagu diperolehnya dari kakaknya semasa menjalani pendidikan dan bekerja di Ujungpandang ini. Dari Ujungpandang, ia kemudian pindah ke Bandung menekuni profesi sebagai seorang wartawan. Profesi itu terus ditekuninya hingga ia akhirnya mudik ke kota kelahirannya, Jakarta.

Ia sebenarnya merupakan putra dari seorang Tentara Hindia Belanda (KNIL), tapi tidak dengan begitu ia menjadi antek Belanda yang tidak mempunyai jiwa kebangsaan Indonesia. Malah sebaliknya, jiwa kebangsaannya sangat tinggi. Jiwa kebangsaan itu semakin mengental pada dirinya terutama setelah banyak bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional sejak ia menekuni profesi kewartawanan. Rasa tidak senangnya terhadap penjajahan Belanda pernah dituangkannya dalam bukunya yang berjudul Perawan Desa. Buku yang mengandung nilai-nilai nasionalitas dan menyinggung pemerintahan Belanda itu akhirnya oleh pemerintah Belanda, disita dan dilarang beredar.

Kilas balik dari lahirnya lagu Indonesia Raya sendiri adalah berawal dari ketika suatu kali terbacanya sebuah karangan dalam Majalah Timbul. Penulis karangan tersebut menentang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Supratman yang sudah semakin kental jiwa kebangsaannya merasa tertantang. Sejak itu, ia mulai menggubah lagu. Dan pada tahun 1924 lahirlah lagu Indonesia Raya.

Ketika Kongres Pemuda, yakni kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda dilangsungkan di Jakarta bulan Oktober tahun 1928, secara instrumentalia Supratman memperdengarkan lagu ciptaannya itu pada malam penutupan acara tanggal 28 Oktober 1928 tersebut. Disitulah saat pertama lagu tersebut dikumandangkan di depan umum. Lagu yang sangat menggugah jiwa patriotisme itupun dengan cepat terkenal di kalangan pergerakan nasional. Sehingga sejak itu apabila partai-partai politik mengadakan kongres, lagu Indonesia Raya, lagu yang menjadi semacam perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka itu selalu dinyanyikan.

Dan ketika Indonesia sudah memperoleh kemerdekaan, para pejuang-pejuang kemerdekaan menjadikan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Dan, Wage Rudolf Supratman yang meninggal dan dimakamkan di Surabaya tanggal 17 Agustus 1938, dikukuhkan menjadi Pahlawan Nasional atas segala jasa-jasanya untuk nusa dan bangsa tercinta ini.